Saya mesti
mengacungkan jempol 4 jari, saya juga tidak punya kosakata yang pas untuk
mewakili isi hati ini. Memang harus saya akui bahwa apa yang telah dilakukan
oleh paklik wahyudi luar biasa. Suami dari bulik lilik adik bungsu ibuku telah
menunjukkan keiklasan hatinya secara nyata, tampa ia bermaksud untuk
mendapatkan kembaliannya berupa apapaun jua, dari siapapun itu. Sepertinya hanya
balasan terbaik dari tuhan saja yang pantas ia dapatkan.
Penilaian
ini rasanya pas, tidak berlebihan. Karena pemahaman saya dari awal ibu akan
menyusul saya kejember bersama bulik, tentunya disitu paklik di ikut
mendampingi. Sebagai orang laki –laki yang menjadi “imam” didalam perjalanan. Mobil
CRV milik paklik tersebut akan berisi wak markolah sebagai supir, paklik di
duduk didepan, ibu dan bulik ada ditengah. Mustofa yang nganter ibu kesurabaya
pulang ndak ikut. Ibu nantinya akan pulang bersama saya. Ternyata saya keliru.
Telpon dari
paklik pada aufa, anak sulungnya paklik yang kuliah dijember , menyadarkan saya
bahwa paklik menempakan saya pada posisi yang sangat penting disisi beliau” aku
pingin ketemu mas itak e sik” kalimat dari HP aufa yang sempat saya dengar.
Beliau datang
hanya mo ngater ibu. Beliau sendiri tampa ada bulik, yang ada ibu dan mustofa. Beliau
menceritakan bulik tidak bisa ikut. Beliau membelikan kami makan siang, yang
memang sebetulnya dari sejak sejam yang lalu sampai mau asar ini perut saya
terasa perih karena belum terisi. Beliau membiarkan aufa menikmati rintik –
rintik hujan memandu kami menuju rumah sakit, tempat anaknya iim dirawat. Iim adikku
ini memang ada dirumah sakit bersama istri dan mertuanya mendampingi ahnaf,
anaknya yang sakit.
Keramahan
dan kebaikan yang ditunjukkan lik di telah berulang kali dilakukannya. Salah satunya
memberikan suntikan modal usaha yang sangat besar bagi iim dijember. “ im
bagaimana kabar usahamu saat ini?” Tanya saya pada iim saat dia cari utangan
untuk biaya rumah sakit . “ yaa hanya cukup untuk sehari –hari”jawab iim malas.
Wak markolah
supir lik di sulit untuk merasakan kemarahan dari ketua panitia pembangunan
masjid as saadah ini. Bahkan mungkin ndak pernah. Saya bisa membuktikan itu.
Selama perjalanan
pulang dari jember ke Surabaya saya dan paklik tidak bisa tidur. Selama itu
pula paklik tidak berhenti ngomong. Dia terus ngomong. Saya ndak enak terpaksa
meladeni dengan menyampaikan celetukan-celetukan. Sebetulnya ada niatan untuk
tidur, karena dikursi tengah hanya saya sendiri. ibu dan mustofa memilih
menginap di jember. saya rasa nanti sampai disurabaya saya harus segar, agar ke
maduranya lancar ndak ngantuk. Ternyata itu tidak bisa.
Keanehan
ini saya sadari pada saat berhenti di probolinggo untuk makan malam. Selagi saya
dan lik di menunggu wak markolah menyelesaikan wudhuk,
“dia
(wak markolah) matanya tiadak awas kalau malam” bisik lik di pada saya.
Ooo…
saya sekarang baru sadar ternyata apa yang dilakukan lik di selama perjalanan
untuk menutupi rasa takutnyanya, atau mungkin melampiaskan marahnya pada hal
lain, yaitu ngomong ndak berhenti – berhenti. Begini ya marahnya orang sabar
pikir saya.
Saya pun
merasakan apa yang dirasakan lik di. Wak markolah dalam mengemudikan mobil
membuat penumpangnyanya was-was. Mobil mewah sekelas CRV bukan nyaman yang
didapat malah dag digduk der sepanjang perjalanan tersebut.
Selanjutnya
setelah tahu isi hati lik di, saya ndak sungkan –sungkan lagi menegor supir tua
ini. “ pak , santai , santai ,santai !!!” saya ucapkan saat supir ini sudah
mulai menekan gas tampa perhitungan.
Saya berfikir
kalo ketemu lik di, saya merekomendasi untuk tidak menggunakan supir ini lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar