Minggu, 02 Desember 2012

Ingat Pak Sirmaji


Kyai sebagai tokoh pengganti nabi punya beban berat. orang - orang yang memanggul pangkat ini selalu menjadi sorotan. apapun yang dilakukannya menjadi teladan bagi ummatnya. apapun yang diucapkannya menjadi fatwa bagi ummatnya. diamnya pun mempunyai arti menyetujui atas sebuah keadaan, yang pasti mereka menjadi pedoman bagi para pengikutnya. oleh karena begitu besar pengaruh yang dimilki tokoh kyai ini, banyak sorotan yang diarahkan pada beliau -beliau ini. ada yang positif yang mendorong para pemangku ikhlas menjalankan kehidupannya. ada pula yang negatif. 

untuk saat ini, sorotan yang ngetrend tentang keterlibatan kyai pada politik. gambaran ideal tentang kyai yang sering disampaikan adalah orang yang istiqomah ada dipondok pesantren, mengelola pendidikan yang ada didalamnya, menjadikan santri- santrinya orang yang daqiq dalam ilmu agama. sesekali para kyai ini melakukan dakwah diluar lembaga pendidikannya, sebagai tugas kemasyarakatan. sedangkan untuk urusan politik dan pemerintahan kyai hanya sebatas sebagai simbol dukungan dari orang yang beragam islam. kyai tidak berhak masuk kedalam dunia " merobah dengan tanganx" (dibaca politik). karena dunia politik sudah ada orangnya, orang - orang yang bukan kyai.

kecaman santer disampaikan kepada kyai yang terjun didunia politik. Para kyai dicap orang-orang yang mengejar dunia, melanggar hadis nabi yang berbunyi " hubbud dun'ya aslu kulli khotiatin “. Cinta harta dunia inti setiap kesalahan. Para kyai  orang yang tahu atas hokum halal dan haram berdasarkan dalil dalil naqli maupun aqli, tetapi mereka berebut jabatan seperti yang lain, yang tidak mengerti persoalan agama. 

Pak Sirmaji ketua partai PDIP Jawa Timur pernah berkata “ berdosa orang baik berkemampuan membiarkan orang ‘jelek’ tidak berkemampuan menjadi pemimpin”. Untuk menjadi pemimpin hak setiap orang, apalagi pemimpin formal. Ada aturan dan system yang menyeleksi  jelas  untuk menjadi seorang pemimpin. Tidak dibatasi oleh profesi apapun, status social dan jenis kelamin apapun. etika mana yang dilanggar oleh kyai yang menjadi pemimpin? Sedangkan kebutuhan masyarakat hanya pada pemimpin yang baik perilakunya, baik tanggung jawabnya, baik hubungan kemasyarakatannya. Dan berkemampuan menejerial, berkemampuan mencari jalan keluar dari persoalan2 yang ada , juga punya kemampuan mengayomi semua tingkatan masyarakatnya.

Saya menghadapi dilema, memutuskan mana yang lebih baik dari beberapa tipikal kyai berkaitan dengan politik.

Ada tokoh Kyai terjun politik. Beliau ini punya pondok pesantren, menjadi pengasuh disana. Aktifitas sehari –harinya bergelut dengan kegiatan dak’wah islam baik dilingkungan pondok maupun diluar. Tokoh ini aktif juga menjadi tokoh dipartai politik, Menjadi pengurus dipartai politik tertentu. Dan ikut serta “berpolitik”. Dalam berpolitik beliau ini berpegang pada etika kyai. Peran didunia politiknya lebih diutamakan dibanding peran sebagai juru dakwah.

Alasan yang disampaikan kenapa berebut kekuasaan ? jawaban yang disampaikannya. “ saya hanya ingin memberikan tauladan kepada semua orang, bahwa untuk mendapatkan kekuasaan bisa dicapai dengan cara-cara yang benar. Benar menurut aturan perundang –undangan , benar menurut aturan syareat islam. Bukan untuk mendapatkan kekuasaan mesti menghalalkan segala cara”. 

Ada tipikal Kyai tetap dipesantren. Beliau ini hanya berpikir pesantren dan hanya pesantren. Beliau mengatur bagaimana menejemen pesantren bisa baik. Beliau berpikir pengembangan pondok yang dimilikinya. Beliau juga peduli pada bagaimana lulusan pondok pesantrennya bisa bermanfaat dimasyarakat. Beliau ini hanya berpikir bahwa kondisi yang baik tetap dipertahankan, sedangkan kondisi yang buruk dicari jalan agar cepat bisa baik.

Tokoh seperti ini kyai yang tetap dipondok pesantren biasanya terhadap politik bersikap netral. Tidak condong kekanan maupun kekiri. Kepada semua orang yang “berpolitik” beliau ini mengayomi, tidak condong kesatu warna, apalagi kesatu orang. Beliau ini hanya bisa sedih melihat “ketidak benaran” dalam perebutan kekuasaan.

Ada Kyai dipesantren dan dipolitik.  Tokoh ini punya pondok pesantren, menjadi pengasuh. Setiap hari bertemu “tatap muka “ dengan para santrinya, mengajarkan nilai- nilai keislaman. Disisi lain setiap hari pula beliau ini berbicara politik, berteman dengan orang –orang politik. Tapi tidak masuk dalam dunia politik. Beliau ini punya pilihan warna, beliau pendukung satu personal. Bahkan cenderung menjadi bemper yang selalu membenarkan orang yang didukungnya.

Tipikal yang terakhir ini biasanya punya kedekatan dengan para penguasa. Beliau –beliau ini melakukan hubungan “simbiosis mutualisme” dengan para penguasa. Sama diuntungkan dan menguntungkan. Apa yang dilakukan para penguasa tokoh seperti ini berkewajiban membenarkan biarpun bertentangan dengan hati nurani rakyat.  Sedangkan apa yang dimaui oleh tokoh ini para penguasa tidak boleh “tutup mata”.  

Akhirnya semua dikembalikan pada diri masing masing. Hanya kepemimpinan itu bukan “sangkolan” yang bisa diwariskan. Tapi amanah yang harus dijalankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar