Kyai sebagai tokoh pengganti nabi punya beban berat. orang -
orang yang memanggul pangkat ini selalu menjadi sorotan. apapun yang
dilakukannya menjadi teladan bagi ummatnya. apapun yang diucapkannya menjadi
fatwa bagi ummatnya. diamnya pun mempunyai arti menyetujui atas sebuah keadaan,
yang pasti mereka menjadi pedoman bagi para pengikutnya. oleh karena begitu
besar pengaruh yang dimilki tokoh kyai ini, banyak sorotan yang diarahkan pada
beliau -beliau ini. ada yang positif yang mendorong para pemangku ikhlas
menjalankan kehidupannya. ada pula yang negatif.
untuk saat ini, sorotan yang ngetrend tentang keterlibatan
kyai pada politik. gambaran ideal tentang kyai yang sering disampaikan adalah
orang yang istiqomah ada dipondok pesantren, mengelola pendidikan yang ada
didalamnya, menjadikan santri- santrinya orang yang daqiq dalam ilmu agama.
sesekali para kyai ini melakukan dakwah diluar lembaga pendidikannya, sebagai
tugas kemasyarakatan. sedangkan untuk urusan politik dan pemerintahan kyai
hanya sebatas sebagai simbol dukungan dari orang yang beragam islam. kyai tidak
berhak masuk kedalam dunia " merobah dengan tanganx" (dibaca
politik). karena dunia politik sudah ada orangnya, orang - orang yang bukan
kyai.
kecaman santer disampaikan kepada kyai yang terjun didunia
politik. Para kyai dicap orang-orang yang mengejar dunia, melanggar hadis nabi
yang berbunyi " hubbud dun'ya aslu kulli khotiatin “. Cinta harta dunia
inti setiap kesalahan. Para kyai orang
yang tahu atas hokum halal dan haram berdasarkan dalil dalil naqli maupun aqli,
tetapi mereka berebut jabatan seperti yang lain, yang tidak mengerti persoalan
agama.
Pak Sirmaji ketua partai PDIP Jawa Timur pernah berkata “
berdosa orang baik berkemampuan membiarkan orang ‘jelek’ tidak berkemampuan
menjadi pemimpin”. Untuk menjadi pemimpin hak setiap orang, apalagi pemimpin
formal. Ada aturan dan system yang menyeleksi
jelas untuk menjadi seorang
pemimpin. Tidak dibatasi oleh profesi apapun, status social dan jenis kelamin
apapun. etika mana yang dilanggar oleh kyai yang menjadi pemimpin? Sedangkan
kebutuhan masyarakat hanya pada pemimpin yang baik perilakunya, baik tanggung
jawabnya, baik hubungan kemasyarakatannya. Dan berkemampuan menejerial,
berkemampuan mencari jalan keluar dari persoalan2 yang ada , juga punya
kemampuan mengayomi semua tingkatan masyarakatnya.
Saya menghadapi dilema, memutuskan mana yang lebih baik dari
beberapa tipikal kyai berkaitan dengan politik.
Ada tokoh Kyai terjun politik. Beliau ini punya pondok
pesantren, menjadi pengasuh disana. Aktifitas sehari –harinya bergelut dengan
kegiatan dak’wah islam baik dilingkungan pondok maupun diluar. Tokoh ini aktif
juga menjadi tokoh dipartai politik, Menjadi pengurus dipartai politik
tertentu. Dan ikut serta “berpolitik”. Dalam berpolitik beliau ini berpegang
pada etika kyai. Peran didunia politiknya lebih diutamakan dibanding peran
sebagai juru dakwah.
Alasan yang disampaikan kenapa berebut kekuasaan ? jawaban
yang disampaikannya. “ saya hanya ingin memberikan tauladan kepada semua orang,
bahwa untuk mendapatkan kekuasaan bisa dicapai dengan cara-cara yang benar.
Benar menurut aturan perundang –undangan , benar menurut aturan syareat islam.
Bukan untuk mendapatkan kekuasaan mesti menghalalkan segala cara”.
Ada tipikal Kyai tetap dipesantren. Beliau ini hanya berpikir
pesantren dan hanya pesantren. Beliau mengatur bagaimana menejemen pesantren
bisa baik. Beliau berpikir pengembangan pondok yang dimilikinya. Beliau juga
peduli pada bagaimana lulusan pondok pesantrennya bisa bermanfaat dimasyarakat.
Beliau ini hanya berpikir bahwa kondisi yang baik tetap dipertahankan,
sedangkan kondisi yang buruk dicari jalan agar cepat bisa baik.
Tokoh seperti ini kyai yang tetap dipondok pesantren biasanya
terhadap politik bersikap netral. Tidak condong kekanan maupun kekiri. Kepada
semua orang yang “berpolitik” beliau ini mengayomi, tidak condong kesatu warna,
apalagi kesatu orang. Beliau ini hanya bisa sedih melihat “ketidak benaran”
dalam perebutan kekuasaan.
Ada Kyai dipesantren dan dipolitik. Tokoh ini punya pondok pesantren, menjadi
pengasuh. Setiap hari bertemu “tatap muka “ dengan para santrinya, mengajarkan
nilai- nilai keislaman. Disisi lain setiap hari pula beliau ini berbicara
politik, berteman dengan orang –orang politik. Tapi tidak masuk dalam dunia
politik. Beliau ini punya pilihan warna, beliau pendukung satu personal. Bahkan
cenderung menjadi bemper yang selalu membenarkan orang yang didukungnya.
Tipikal yang terakhir ini biasanya punya kedekatan dengan
para penguasa. Beliau –beliau ini melakukan hubungan “simbiosis mutualisme”
dengan para penguasa. Sama diuntungkan dan menguntungkan. Apa yang dilakukan
para penguasa tokoh seperti ini berkewajiban membenarkan biarpun bertentangan
dengan hati nurani rakyat. Sedangkan apa
yang dimaui oleh tokoh ini para penguasa tidak boleh “tutup mata”.
Akhirnya semua dikembalikan pada diri masing masing. Hanya kepemimpinan
itu bukan “sangkolan” yang bisa diwariskan. Tapi amanah yang harus dijalankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar